Sabtu, 18 Mei 2024

INFORMASI :

SELAMAT DATANG DI WEBSITE RESMI PEMERINTAH DESA NAMPUDADI KECAMATAN PETANAHAN KABUPATEN KEBUMEN, JAM OPERASIONAL PELAYANAN HARI SENIN - KAMIS JAM 08.00 S/D 15.00, HARI JUM'AT JAM 08.00 S/D 11.00, PATUHI PROTOKOL KESEHATAN COVID - 19
 

SEJARAH DESA NAMPUDADI

SEJARAH DESA NAMPUDADI

       Bahwa sekitar tahun 700 Masehi ada seorang ulama yang menjadi waliyulloh yaitu Kanjeng Sunan Kalijaga, dan Kanjeng Sunan Kalijaga mempunyai santri yang banyak nampun ada dua orang santri dari Kanjeng Sunan Kalijaga yang ditugaskan untuk mendarmabatktikan ilmuya kepada masyarakat yang kala itu masih banyak yang menganut ajaran sesat bahkan memuja benda-benda mati, adapun dua orang santri tersebut benama Raden Ngabehi Wanantaka dan Ki Ageng Pandanaran, setelah Raden Ngabehi Wanantaka dan Ki Ageng Pandanaran mendapat ijin dan Doa Restu dari Gurunya yaitu Kanjeng Sunan Kalijaga maka Raden Ngabehi Wanantaka dan Ki Ageng Pandanaran meninggalkan Padepokan atau Pondok Pensantrennya untuk melanglang buana dan Raden Ngabehi Wanantaka dan Ki Ageng Pandanaran berpisah untuk melaksanakan Tugas yang diberikan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga
 
       Setelah sekian lama bahkan bertahun tahun Raden Ngabehi Wanantaka dan Ki Ageng Pandanaran Perpisah maka pada suatu hari beliau di pertemukan di suatu tempat yaitu di wilayah Jimbun yang sekarang masuk wilayah Kecamatan Sruweng Desa Giwangretno dan menjadi salah satu Pedukuhan di Desa Giwangretno yaitu Dukuh Jimbun dari hasil Pertemuan beliau adalah bahwa Raden Ngabehi Wanantaka bertugas di Jawa Tengah dan Ki Ageng Pandanaran bertugas di Jawa bagian Timur dan menjadi Pimpinan pada kala itu. Raden Ngabehi Wanantaka memimpin Jawa Tengah dengan sebutan Lurah sejawa tengah sementara Ki Ageng Pandanaran menjadi Bupati Jabalaikat
 
       Dari Pernjalanan Mbah Raden Ngabehi Wanantakan sampailah disuatu hutan yang selanjutnnya dijadikan suatu perkampungan oleh Raden Ngabehi Wanantaka, dimana Raden Ngabehi Wanantakan mempunyai sebuah barang berupa tongkat, dan pada suatu hari Raden Ngabehi Wanantaka akan melaksanakan Sholat dan mengambil air wudlu dan tongkat yang di pegangnya itu terbuat dari Pohon Nampu setelah di tancapkan ke tanah dan seketika itu tongkat tersebut Tumbuh atau Jadi, maka hutan yang sudah menjadi Perkampungan oleh Raden Ngabehi Wanantaka di namakan Pudadi yang sampai sekarang disebut Desa Nampudadi walaupun masih bayak orang yang bertanya atau menyebut Desa Pudadi, dan sekarang Desa Nampudadi masuk dalam wilayah Kecamatan Petanahan Kabupaten Kebumen.
       
          Setelah adanya nama Nampudadi Mbah Raden Ngabehi Wanantaka diberi suatu Penghargaan oleh Raja Mataram untuk mengabilnya di suatu wilayah yang berupa Benda Berukir yang menyandar di antara dua Pohon Besar dan terbelit pohon lainnya adapun kedua pohon besar itu bernama pohon Kapen yang terbelit oleh pohon serut. Kemudian Mbah Raden Ngabehi Wanantaka pergi ke suatu wilayah di mana Benda Berukir tersebut berada dan membawa ke Nampudadi dengan catatan harus pada malam hari sebelum subuh sudah sampai di Nampudadi dan benda berukir itu disebut Lawang Kori artinya Lawang ya kori Kori ya Lawang.
       
        Kemudian Warga Masyarakat di wilayah dimana Lawang Kori tersebut menyandar di bawah alam sadar ada yang melihat Lawang Kori itu terbang seperti kilat dengan kecepatan yang sangat cepat, karena warga masyarakat di wilayah tersebut tidak mengetahui kepergian Lawang Kori maka pada saat itu wilayah tersebut dinamakan Mbaleng yang artinya Amba- amba ning ora ndelneg atau wilayah yang begitu luas dengan adanya barang berukir (Lawang Kori ) itu hilang tidak ada yang melihatnya, adapun mbaleng tersebut berada di Desa Tegalretno Kecamatan Petanahan Kabupaten Kebumen yang menjadi salah satu Pedukuhan di Desa Tegalretno.
 
         Dengan bertambahnya Penduduk di Desa Nampudadi yang di Pimpin oleh Mbah Raden Ngabehi Wanantaka maka pada suatu hari mengadakan suatu Pertemuan antara Tokoh Pemerintah, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat bermusyawarah mengenai keberadaan Lawang Kori dengan hasil keputusannya adalah bahwa siapapun nanti yang menjadi Kepala Desa Nampudadi harus mau ketempatan dan merawat Lawang Kori dalam bentuk sebagai Penghormatan adapun bentuk penghormatan yang selama ini di lakukan oleh Kepala Desa adalah membuat sesaji dan semua masakan yang di olah oleh Keluarga Kepala Desa tidak di perkenankan di cicipin terlebih dahulu.
       
       Tempat untuk Lawang Kori sampai saat ini berada di depan rumah Kepala Desa Nampudadi sebelah selatan bagian Timur Pekarangan menghadap ke Timur. Bentuk Lawang Kori Berupa Balok kayu yang terukir dan beratapkan alang – alang.
    
       Prosesi Pemindahan Lawang Kori selalu di lakukan dimana jika terjadi Pergantian Kepala Desa baru dengan cara Lawang Kori yang berada di Kepala Desa Lama di turunkan dengan prosesi adat yang sudah biasa dilakukan dengan di awali Kepala Desa baru mohon ijin kepada Kepala Desa lama untuk membawa Lawang Kori dan kemdian Lawang Kori itu di lurubi dengan samping atau pakaian Perempuan seperti Kain samping batik bercorak.............., Pakaian Kebaya, Pakaian Kutang, Ikat Pinggang dan alat Kecantikan Perempuan, yang kemudian di panggul oleh Keluarga Kepala Desa baru atau masyarakat Desa dengan berjalan kaki menuju rumah Kepala Desa baru dengan di iringi oleh kesenian kuda lumping dan sesampainya di rumah kepala Desa baru Masyarakat yang di tuakan atau yang di suruh memimpin prosesi pemindahannya menyerahkan kepada Kepala Desa yang baru dan selanjutnya baru prosesi Pemasangan Lawang Kori
 

Bagikan :

Tambahkan Komentar Ke Twitter

Arsip Berita

Statistik Pengunjung